BALIKPAPAN UPDATE – Masa penjajahan Jepang saat menduduki wilayah Balikpapan dan sekitarnya pada 24 Januari 1942 membuat derita rakyat. Koesman, seorang veteran yang hidup era perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia ingat betul waktu penjajahan Jepang dianggap paling sadis di antara penjajah lainnya.
“Kolonial Jepang bawa orang-orang dari Jawa dibawa ke Balikpapan untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa (Romusha),” ungkapnya kepada Tribun.
Kondisi masyarakat lokal pada saat zaman kolonial Belanda dan Jepang begitu menderita, banyak kelaparan ada yang mengantri untuk mendapatkan makanan sumbangan.
Belum lagi banyak yang tewas akibat dipekerjakan sebagai Romusha yang tanpa dibayar tiada diberi upah dan dipaksa untuk terus bekerja tanpa rasa manusiawi.
“Jadi Romusha disuruh bangun pertahanan militer, membuat goa-goa Jepang. Kemudian gotong bawa meriam ke dataran-dataran tinggi membuat bunker,” ujarnya.
Saat Jepang masuk Balikpapan memang banyak perubahan satu di antaranya diganti beberapa nama-nama yang awalnya berciri khas Belanda kini diganti Jepang seperti kilang minyak awalnya bernama De Bataafse Petroleum Maatschppij NV menjadi Nandriyono.
Bentuk kekejaman lainnya yakni penjajahan Jepang sangat membenci kepada dr Kanujoso yang tidak tahu balas budi atas peran dan jasa Kanujoso dalam dunia kesehatan. Koesman mengungkapkan, waktu itu Kanujoso selalu menolong korban korban perang baik itu dari kolonial Belanda, sekutu, Jepang ataupun warga pribumi yang menjadi korban perang.
“Kanujoso menolong orang tidak melihat dari sisi dan bangsa dan suku darimana,” katanya. Saat ada perubahan geopolitik, Jepang sudah mulai kalah dari perang dunia kedua dan dipukul mundur oleh sekutu di Balikpapan.
Kanujoso ditahan dan dibawa pergi oleh kolonial Jepang ke Penajam Paser Utara, dijadikan tenaga kesehatan bagi kubu militer Jepang.
“Dibawa ke Penajam oleh Jepang dibawa lari karena dipukul mundur sama pasukan sekutu, tapi tiba-tiba kabarnya Kanujoso meninggal di sana. Ada yang bilang dibunuh sama Jepang,” ungkapnya.
Namun berbeda halnya dengan kolonial tentara Australia yang pada saat itu ketika Jepang kalah dalam perang dunia kedua, tentara Australia masuk sebatas hanya sebagai tentara perdamaian. Bahkan Belanda yang memboncengi tentara Australia pun tak terpengaruh tetap membela kemerdekaan Indonesia.
“Tentara Australia itu malah ngasih kopi, kasih minuman teh, kasih makanan ke rakyat-rakyat yang memang pada saat itu kelaparan,” ujar Koesman.
Menurut dia, tentara Australia membantu mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, ikut mengawal dan mengamankan, memberikan perlindungan bagi masyarakat pribumi yang mendesak merdeka membentuk negara sendiri bernama Republik Indonesia.
“Mereka sempat berteriak merdeka, merdeka, juga bersama warga, dukung kemerdekaan Indonesia,” tuturnya.
Kala kolonial Jepang sudah pergi dari Balikpapan waktu itu masih ada beberapa pengaruh pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang ingin berkuasa kembali di Balikpapan. Kemudian muncullah beberapa kelompok-kelompok gerilyawan dalam hal ini para pejuang Republik Indonesia yang berasal dari Balikpapan.
Bergulirnya ini sekitar tahun 1946 hingga 1947, termasuk satu di antaranya Koesman yang baru berusia sekitar 16 tahun masuk dalam gelanggang pejuang proklamasi kemerdekaan di Balikpapan.
Waktu itu di Balikpapan banyak muncul geng-geng pemberontak untuk Republik Indonesia di antaranya ada tokoh yang terkenal Abdul Moethalib inisator Komite Indonesia Merdeka, ada Anang Acil di Kampung Damai, ada kelompok Kasmani di Gunung Samarinda.
“Berjuangnya pakai berbagai macam cara, ada yang pakai golok, bambu runcing, celurit, tombak. Ada juga pakai senjata dari rampasan milik Jepang,” ungkapnya.
Koesman ingat betul, para pejuang dalam melawan kolonial Hindia Belanda di Balikpapan dilakukan secara spontanitas dengan metode geriliya, berpindah-pindah tempat saat ada kesempatan dilakukan penyerangan.
Model penyerangannya hanya serbu, mundur, lalu berpencar. Penyerangannya tidak sampai tuntas sampai merebut, hanya sekedar serbu saja, membuat kacau musuh,” ujarnya.